Vaksinasi di Indonesia mendapat tanggapan yang beragam oleh masyarakat. Beberapa kalangan menolak vaksinasi namun juga tak sedikit yang menerima. Sempat terjadi perdebatan bahkan masih terjadi hingga sekarang dua kubu yang menolak dan yang menerima. Lalu apakah benar bahwa Indonesia termasuk sebagian dari negara yang diidentifikasi oleh WHO sebagai lokus ‘ant-vac’ atau anti-vaccination?
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra menjawab dalam kolom Resonansi yang diterbitkan oleh koran Republika edisi Kamis, 25 Februari 2021. Ia menyatakan bahwa Indonesia bukanlah lokus ‘gerakan anti-vak’. Pernyataannya tersebut didasarkan karena sejak mulainya wacana dan praksis vaksinasi yang dilakukan pemerintah, tidak terlihat penolakan vaksinasi Covid-19 dengan skala besar yang terorganisir. Beberapa individu memang menyatakan penolakan—tidak hanya terhadap vaksinasi Covid-19 tapi juga jenis vaksinasi lainnya, tetapi penolakan tersebut tidak memiliki impact yang begitu besar.
“Survei Indikator awal Februari 2021 atas 1.200 responden acak dari seluruh Indonesia, menemukan 54,9% warga bersedia divaksinasi; 41% tidak atau kurang bersedia,” ungkapnya.
Respon terhadap vaksinasi ini didasari oleh beberapa hal, di antaranya adalah agama. Mayoritas warga Indonesia yang menerapkan dan mengamalkan moderasi beragama itu cenderung lebih terbuka. Penerimaan vaksin ini berdasarkan kemaslahatan diri dan jiwa (hifz al-nafs) yang menjadi bagian al dharuriyat al-khamsah.
Merujuk pada Fatwa MUI Pusat No. 4 Tahun 2016 yang menyatakan hukum vaksinasi itu diperbolehkan. Hujjahnya, vaksinasi adalah usaha untuk mewujudkan kekebalan (imunitas) terhadap penyakit tertentu sehingga dapat mencegah kecacatan atau kematian. Dalam hal ini vaksin yang digunakan harus memenuhi syarat kesuciannya, halal, tidak mengandung unsur haram seperti gelatin dari babi. Adapun dalam keadaan yang benar-benar darurat, maka unsur-unsur tersebut boleh digunakan selama belum ditemukan unsur vaksin yang suci dan halal.
Kelompok Muslim lain menurut Azra yang melakukan penolakan, mereka merujuk pada ‘tahnik’ yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Metode vaksinasi yang digunakan adalah memasukkan kunyahan kurma ke dalam mulut bayi karena menganggap vaksin buatan orang Yahudi dapat melemahkan jasmani generasi muda Muslim.
Tak hanya di kalangan Muslim, praksis keagamaan antivaksin juga datang dari agama lain. Seperti ungkapan teolog-cum-pendeta Edmund Massey bahwa penyakit adalah kiriman dari Tuhan untuk menghukum para pendosa; menggunkan vaksin berarti menentang kemauan Tuhan.
Meski ada kelompok yang menolak vaksin dengan argumen agama, namun mayoritas umat beragama menerimanya. Jika ada keberatan dalam menerima substansi vaksin, upaya terus dilakukan untuk menemukan vaksin yang sesuai dengan keagamaan yang dianut. Antusias masyarakat dalam menerima vaksin juga telah terlihat di berbagai wilayah Indonesia sehingga menurut Azra, Perpres Nomor 14 Tahun 2021 dinilai berlebihan karena mengandung berbagai macam ancaman sanksi bagi mereka yang menolak vaksin dan vaksinasi. Bagi para penolak, mungkin sanksi apapun tidak membuat mereka mengubah sikap yang dilandasi keagamaan.
Di akhir, Azra menyarankan agara pemerintah lebih menggunakan figur publik seperti ulama, politisi, tokoh adat, maupun selebritis untuk melakukan kampanye vaksinasi. Cara persuasi edukatif lebih berpeluang menang dalam merebut hati warga ketimbang cara otokratif yang justru lebih berpeluang menimbulkan rekasi balik yang tidak diharapkan.
Vaksinasi di Indonesia mendapat tanggapan yang beragam oleh masyarakat. Beberapa menolak vaksinasi namun juga tak sedikit yang menerima. Respon tersebut didasarkan oleh beberapa hal di antaranya adalah pengetahuan agama yang dimiliki. Sempat terjadi perdebatan bahkan masih terjadihingga sekarang dua kubu yang menolak dan yang menerima. Lalu apakah benar bahwa Indonesia termasuk sebagian dari negara yang diidentifikasi oleh WHO sebagai lokus ‘ant-vac’ atau anti-vaccination?
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra menjawab dalam kolom Resonansi yang diterbitkan oleh koran Republika edisi Kamis, 25 Februari 2021. Ia menyatakan bahwa Indonesia bukanlah lokus ‘gerakan anti-vak’. Pernyataannya tersebut didasarkan karena sejak mulainya wacana dan praksis vaksinasi yang dilakukan pemerintah, tidak terlihat penolakan vaksinasi Covid-19 dengan skala besar yang terorganisir. Beberapa individu memang menyatakan penolakan—tidak hanya terhadap vaksinasi Covid-19 tapi juga jenis vaksinasi lainnya, tetapi penolakan tersebut tidak memiliki impact yang begitu besar.
“Survei Indikator awal Februari 2021 atas 1.200 responden acak dari seluruh Indonesia, menemukan 54,9% warga bersedia divaksinasi; 41% tidak atau kurang bersedia,” ungkapnya.
Kembali pada perspektif agama terkait penerimaan dan penolakan upaya vaksinasi ini dapat dillihat bahwa mayoritas warga Indonesia yang menerapkan dan mengamalkan moderasi beragama itu cenderung lebih terbuka. Penerimaan vaksin ini berdasarkan kemaslahatan diri dan jiwa (hifz al-nafs) yang menjadi bagian al dharuriyat al-khamsah.
Merujuk pada Fatwa MUI Pusat No. 4 Tahun 2016 yang menyatakan hukum vaksinasi itu diperbolehkan. Hujjahnya, vaksinasi adalah usaha untuk mewujudkan kekebalan (imunitas) terhadap penyakit tertentu sehingga dapat mencegah kecacatan atau kematian. Dalam hal ini vaksin yang digunakan harus memenuhi syarat kesuciannya, halal, tidak mengandung unsur haram seperti gelatin dari babi. Adapun dalam keadaan yang benar-benar darurat, maka unsur-unsur tersebut boleh digunakan selama belum ditemukan unsur vaksin yang suci dan halal.
Kelompok Muslim lain menurut Azra yang melakukan penolakan, mereka merujuk pada ‘tahnik’ yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Metode vaksinasi yang digunakan adalah memasukkan kunyahan kurma ke dalam mulut bayi karena menganggap vaksin buatan orang Yahudi dapat melemahkan jasmani generasi muda Muslim.
Tak hanya di kalangan Muslim, praksis keagamaan antivaksin juga datang dari agama lain. Seperti ungkapan teolog-cum-pendeta Edmund Massey bahwa penyakit adalah kiriman dari Tuhan untuk menghukum para pendosa; menggunkan vaksin berarti menentang kemauan Tuhan.
Meski ada kelompok yang menolak vaksin dengan argumen agama, namun mayoritas umat beragama menerimanya. Jika ada keberatan dalam menerima substansi vaksin, upaya terus dilakukan untuk menemukan vaksin yang sesuai dengan keagamaan yang dianut. Antusias masyarakat dalam menerima vaksin juga telah terlihat di berbagai wilayah Indonesia sehingga menurut Azra, Perpres Nomor 14 Tahun 2021 dinilai berlebihan karena mengandung berbagai macam ancaman sanksi bagi mereka yang menolak vaksin dan vaksinasi. Bagi para penolak, mungkin sanksi apapun tidak membuat mereka mengubah sikap yang dilandasi keagamaan.
Di akhir, Azra menyarankan agara pemerintah lebih menggunakan figur publik seperti ulama, politisi, tokoh adat, maupun selebritis untuk melakukan kampanye vaksinasi. Cara persuasi edukatif lebih berpeluang menang dalam merebut hati warga ketimbang cara otokratif yang justru lebih berpeluang menimbulkan rekasi balik yang tidak diharapkan.